TENGAH ADALAH KUNCI; Untuk penyeimbang kanan-kiri.
Kalo ‘tengah’ ini di maksudkan sebagai ideologis, saya kira, ini alasan saya menyukai Golkar (saat ini). Fleksibel di atas segalanya. Bukan tanpa prinsip. Tapi lebih kepada realitas untuk menjaga indonesia sampai sekarang.
Indonesia mayoritas muslim, tapi sistem kenegaraan, kebijakan, selalu bersumber pada semua aspek agama. Setiap keputusan yang di ambil, selalu bersumber pada musyawarah untuk kepentingan bersama. Seiring berjalannya waktu, semakin terbukti: campaign agama, dengan segala dalilnya, kian hari kian tidak menggairahkan.
Indonesia pernah punya partai dengan soko guru buruh dan tani. Pernah menjadi partai 3 besar. Nyatanya? Tidak bisa bertahan. Malah dibubarkan. Militansi yang mereka bangun, tidak sesuai dengan karakter bangsa; kita terlahir sebagai kasta (kerajaan), tetapi kemudian disempurnakan oleh agama, yang memandang pentingnya semua umat manusia. Jadi, sama rata sama rasa itu akan sulit terwujud di Indonesia.
Indonesia pernah punya Golkar yang diktator. 32 Tahun. Terlepas dari aspek negatif. Harus kita sadari landasan pembangunan dan keajegan negara dimulai dari sana. Di kelahiran reformasi–keruntuhan Orba, pengamat memprediksi golkar akan hilang. Nyatanya? Golkar baru lahir sebagai pemenang. Diam-diam Golkar disukai bukan ‘hanya’ karena doktrin nya. Tapi keajegan sistem berpartainya; juga pengalaman orang-orangnya. Dan, orang percaya, kalau bukan orang Golkar yang ikut menjalankan pemerintahan, akan ada ketimpangan. Golkar, apapun hasil pemilunya, selalu diharapkan tidak menjadi oposisi.
Satu-satunya kelemahan di Golkar saat ini adalah kurang kuatnya tokoh sentral. Partai ini seperti perusahaan terbuka yang sudah IPO; sahamnya bisa siapa saja. Pemiliknya banyak. Butuh waktu untuk membuat keputusan. Bahkan keputusan yang ada, kadang tidak bulat.
Dampaknya, sulit menemukan central leader yang bersinar. Semua kader bagus2. Semua kader keren2. Akhirnya, selalu saja ada faksi2, dan kecenderungan untuk tidak tegak lurus pada ketum; dalam perjalanannya, Golkar selalu bisa menghiasi pemerintahan, tapi belum bisa jadi top sentral pemegang pemerintahan (presiden).
Andai Jokowi atau Gibran masuk golkar? ya, tidak apa-apa. Tapi, tetap berproses. Seperti kang Emil. Kan tidak harus langsung jadi ketum. Sekali lagi, golkar partai ajeg, Golkar punya mekanisme sendiri, tidak mungkin ‘aji mumpung’ seperti PSI. Toh, momentum untuk saat ini sudah lewat. Kita sudah menang (untuk nasional).
Untuk ketum, secara pribadi, saya masih mengharapkan pak AH. Walau bukan macan podium. Walau bukan media darling. Walau bukan ahli retorika. Tapi, keteduhan dan ketenangan pak AH sangat merepresentasikan “ketengahan” partai Golkar; Santai, santun, tapi progresif.
Langkah pasti yang terukur dan termenej dengan baik, menjadi cerminan pak AH. Dan ini saya kira sesuai dengan karakter tengah Partai Golkar: “membuat ekosistem teduh seperti pohon beringin.”
Dan, ingat sodara-sodara, sadar atau tidak, lahirnya Golkar Institute, merupakan ide cemerlang atas prakarsa ketum Golkar yang berinisial AH.
Demikian,
Tabik!
Garut, 13 Maret 2024
Riki Gana S
(Note: Tulisan ini, saya kirim di grup wag GI pusat)